Khutbah idul fitri kesempatan meluruskan pemahaman makna fitri
Khutbah idul fitri meupakan kesempatan yang sangat baik bagi para juru dakwah untuk mengajak umat kembali kepada syariat Allah yang haq dengan pemahaman yang shohih, pemahaman salafussholih. Karena pada saat itu hampir semua pemeluk agama Islam menghadiri dan mendengarkan sholat ied, bahkan wanita-wanita yang sedang berhalangan diperintah untuk datang. Dan karena pada saat itu semua orang Islam dalam keadaan mau menerima nasihat, setelah menjalani ibadah puasa sebulan. Atau paling tidak mereka kebanyakan merasa menjadi orang yang agak sholih dibanding sebelumnya.
Seorang khotib seharusnya memanfaatkan momen ini untuk menjelaskan hal-hal penting dalam kehidupan kita, terutama masalah keyakinan. Keyakinan atau Aqidah merupakan landasan paling penting dalam hidup manusia, ibarat membangun rumah Aqidah adalah pondasinya, kalau pondasi kuat maka rumah takkan mudah rusak diterpa angin musibah, atau gempa cobaan. Seandainya pondasi rumah lemah maka sedikit digoyang sedikit fitnah pasti sudah bubrah (rusak).
Tak kalah penting kesalahan-kesalahan umat yang sudah mengakar menjadi adat, budaya dan kebiasaan juga perlu diluruskan. Umat agar jangan sampai beramal tanpa landasan sehingga capek-capek beramal namun tidak dapat pahala malah kena dosa. Contoh sederhana: ruwahan, padusan, sungkeman, syawalan. Bermula dari perasaan yang berkata: “ini kan niatnya baik, masa dosa sih?”
Soal sungkeman kayaknya ini sudah banyak yang mempersiapkan, tradisi saling maaf maafan pas lebaran berawal dari kesalahan memaknai ‘Idul Fitri’. Banyak orang menganggap idul fitri artinya kembali ke fitri atau kembali ke fitroh artinya suci dari dosa ibarat bayi baru lahir putih bersih tanpa dosa walaupun dulu sering zina, korupsi, dan lain-lain. Paahal makna yang benar adalah fitri dari kata afthoro artinya berbuka. Yakni hari kembali berbuka setelah sebulan puasa.
Di antara kekeliruan sebagian ummat Islam berkenaan dengan Id adalah:
Pemahaman bahwa Id hanyalah sekedar adat kemasyarakatan biasa, bukan merupakan ibadah. Padahal Id mempunyai sunnah-sunnah, syi’ar-syi’ar, dampak dan juga cita dan harapan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai di Madinah beliau mendapati masyarakat di sana mempunyai dua hari raya yang biasa mereka peringati dengan meriah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Allah telah menggantikan dua hari raya itu dengan dua hari raya yang lebih baik, yaitu hari Idul Adha dan Iedul Fithri." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i) .
1. Melaksanakan shalat Id di masjid-masjid tanpa ada udzur, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukannya di tanah lapang dan tidak di masjid, kecuali hanya sekali saja ketika turun hujan. Akan tetapi, hadist yang berisi bahwa Rasullulah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah satu kali shalat ‘Id di masjid, terdapat kelemahan dalam sanadnya. Pelaksanaan shalat Id di dalam masjid akan membatasi jumlah kaum muslimin yang hadir serta menghalangi kemeriahan Id dan kebesaran kaum muslimin. Dan seakan-akan Id seperti shalat Jum’at saja, padahal ia merupakan perkumpulan tahunan yang seluruh umat Islam tanpa kecuali, besar-kecil, tua-muda, pria-wanita, bahkan wanita yang sedang haid sekalipun dianjurkan mendatangi Id.
2. Anggapan remeh sebagian orang terhadap shalat Id, padahal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa ia hukumnya wajib, berdasarkan dua riwayat dari Imam Ahmad. Maka hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala orang yang meninggalkan shalat Id dan asyik tidur di rumah, terutama pada hari Idul Adha, padahal dia adalah hari raya haji yang agung dan tidak ada perbedaan antara kedua shalat Id itu.
3. Kurangnya perhatian para wanita dalam ikut serta keluar rumah untuk memeriahkan dan menggembirakan Id, dengan alasan sibuk menyiapkan makanan atau mendandani anak-anak. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para wanita yang haid dan sedang berhalangan untuk keluar rumah.
4. Maka keluarnya para wanita ke tempat shalat Id adalah sunnah, atau sunnah muakkadah (yang ditekankan), dan sebagian ulama menyatakan wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan itu. Terlepas dari perbedaan pendapat dalam masalah ini, seorang muslim dan muslimah selayaknya harus hadir dalam shalat Id, jika tidak ada halangan yang bersifat dharuri.
5. Perhatikan ucapan Ummu Athiyah radhiallahu ‘anha, "Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami agar mengajak keluar anak-anak perempuan yang telah mendekati baligh dan para gadis. Beliau memerintahkan agar yang sedang haidh menjauh dari tempat shalat." Bahkan lebih dari itu, bahwa wanita yang tidak punya jilbab tidak boleh beralasan untuk tidak keluar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar saudaranya yang lain meminjamkan atau memberikan jilbab kepadanya.
6. Ada sebagian masyarakat yang tidak mempraktekkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa makan kurma (jika ada) sebelum berangkat menuju shalat Idul fithri. Adapun dalam Idul Adha, maka sunnahnya adalah tidak makan terlebih dahulu, hingga pulang dari shalat Id.
7. Termasuk salah satu kekeliruan dalam Id adalah lebih menonjolkan penampilan daripada memperhatikan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal yang dilihat oleh Allah Ta’ala adalah hati dan amal kita, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa-rupa kamu dan harta-harta kamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal-amal kamu." (HR. Muslim)
8. Alangkah indahnya apabila terkumpul dua keindahan: Keindahan batin dan keindahan lahir, dan pakaian takwa adalah yang terbaik. Maka tidaklah seseorang memakai pakaian kecuali yang dicintai Allah Ta’ala, dalam rangka mensyukuri nikmat-Nya dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara pakaian yang menyelisihi sunnah adalah pakaian laki-laki yang panjang hingga menutupi mata kaki. Demi Allah, seperti ini bukan merupakan keindahan, namun seperti yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Apa saja yang di bawah mata kaki (dari pakaian) maka tempatnya di neraka."
9. Bagaimana mungkin kita keluar menuju sebuah perhelatan besar yang mengingatkan kita kepada dahsyatnya akhirat, namun dengan memakai pakaian yang dapat menjerumuskan ke dalam api neraka. Jika dalam mengenakannya karena sombong maka dia terancam tidak akan dilihat Allah Ta’ala, tidak akan dibersihkan dosanya dan baginya adzab yang pedih, semoga Allah Ta’ala menjaga kita semua darinya.
10. Demikian pula dengan orang yang ingin memperbagus penampilan dengan cara mencukur jenggotnya. Mereka mengira bahwa hal itu akan menjadikan indahnya penampilan, padahal sebaliknya memperburuk penampilan karena jenggot adalah perhiasan bagi seorang laki-laki. Jika dia mencukurnya, maka berarti membuang perhiasan hal itu dan jelas menjadikan dia lebih buruk. Maka hendaknya kita bertakwa kepada Allah Ta’ala jangan sampai melakukan itu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membiarkan dan memeliharanya.
11. Termasuk pula, sebagian anak muda yang memotong rambutnya dengan model potongan menyerupai orang orang fasik dan orang kafir, serta menyemir uban dengan semir warna hitam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita menyerupai orang-orang kafir dan menyemir uban dengan warna hitam.
12. Sedangkan kesalahan pakaian bagi para wanita adalah tidak adanya perhatian. Apakah pakaian yang dikenakannya itu tipis (transparan), sempit (span) dan terbuka, sehingga seperti telanjang. Padahal pakaian seperti itu adalah sifat pakaian ahli neraka. Maka jika anda berhias, berhiaslah dengan pakaian yang menutup aurat dan gunakan nikmat Allah Ta’ala dalam hal yang diperintahkan. Sebab anda tidak tahu bahwa boleh jadi hari itu adalah hari terakhir anda di dunia. Bertakwalah anda kepada Allah Ta’ala, semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat-Nya untuk anda para wanita muslimah.
13. Termasuk kekeliruan dalam menyambut Id adalah dengan begadang di malam hari, asyik duduk menyaksikan film-film atau sinetron, permainan-permainan, seperti kartu remi, domino, catur dan semisalnya.
14. Berlebihan di dalam perayaan Id dengan membeli berbagai macam makanan, minuman, kue dengan harga yang mahal, padahal Allah Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Dan merupakan ciri hamba Allah Ta’ala yang sejati adalah apabila membelanjakan harta tidak berlebih-lebihan dan tidak pelit, namun tengah-tengah.
15. Membeli berbagai macam mainan kembang api dan mercon, yang jalas membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat dan bahkan madharatnya lebih besar, termasuk menyia-nyiakan harta. Membiasakan anak membawa korek api yang akan membawa dampak negatif, di antaranya: Dapat menyebabkan kebakaran dan menjerumuskan mereka ke dalam kebiasan merokok.
16. Termasuk kekeliruan di hari Raya adalah kembalinya kaum muslimin meremehkan berbagai macam ibadah, seperti shalat berjama'ah, membaca al-Qur'an dan lain sebagainya. Padahal merupakan salah satu tanda diterimanya amal kebaikan adalah apabila dapat melakukan kebaikan berikutnya (istiqomah).
17. Tidak mencari jalan yang berbeda, ketika berangkat menuju shalat Id dan tatkala pulang. Dengan menempuh jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang dari shalat Id, maka berarti telah menghidupkan sunnah dan memperbanyak tempat yang kita lewati yang kelak akan menjadi saksi pada hari Kiamat.
18. Berjabat tangan antar pria dan wanita yang bukan mahramnya pada Hari Raya. Demikan pula ikhtilat (bercampur baur) antara pria dan wanita, baik di suatu tempat atau di jalanan.
Demikian di antara beberapa kekeliruan seputar Hari Raya. Semoga kita dapat menjauhinya, dan akhirnya marilah kita sambut seruan Allah Ta’ala, "Dan hedaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. 2:185)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar